bloguez.com

Cari Blog Ini

Tennis Animation

Jumat, 07 Januari 2011

Maaf Di Balik Penyesalan (HUT GBI) cerpen terbaik ke 2

Suara ketukan jari dari ujung kuku pada sebuah besi pagar terus berbunyi. Beberapa siswa/i tengah menunggu bell dan pintu pagar sekolahnya terbuka.

"TEETT.. TETT.. !! TEEEETTTT... !!"

Siswa-siswi bersorak sorai, gerbang sekolah di buka, seluruh siswa berhamburan ke luar sekolah.

"Yan!!" seru seseorang dari belakang "rumah lo bukannya disana (menunjuk ke arah timur), kenapa lo kesana (barat)?"

"pengen jemput kakak gue!" sahut gadis berambut cepak itu. Tapi tiba-tiba seseorang menarik tasnya dari belakang "ada..da..da..da!! ngapain sih lo?!" tanya gadis tomboy itu dengan kesal.

"Yan, lo pengen ada perang dunia ke 3 lagi apa? lo pengen bikin rusuh hah?!" tanya Greysia dengan mata melotot.

"gue pengen jemput kakak gue, bukan bikin rusuh dodol!!" jawabnya.

"kan lo bisa nyuruh kakak lo nunggu di tempat lain, bukan sekolahnya" tegur Greysia, tapi Liliyana menolak "oh..tidak bisa! gue udah janji buat jemput dia disana, dah!" dengan cepat, Liliyana langsung pergi menuju sekolahan kakaknya.

"Yana!!" panggil Greysia lagi. Tapi tak di gubris sama sekali oleh Liliyana. Ia hanya menatap pasrah setelah melihat kerabatnya telah hilang dari pandangannya.

***

"BRAAKK!!" sebuah pukulan keras mendarat pada sebuah meja.

"harusnya kamu sebagai ketua osis, kamu bisa bersikap lebih tegas Vent! kamu rapat sama anggota yang lain buat menyelesaikan masalah ini, kamu gak mau kan kalau ada siswa dari sekolah kita ini ada yang menjadi korban?!" tegur Pak Nova dengan tegas.

"tapi ini bukan salah kita Pak, kalo aja kita mengsurvei masalah perkelahan antara sekolah kita sama SMA 7, itu lebih banyak di sebabkan SMA 7 Pak, mulai dari pelecehan mereka sama sekolah kita, saat kita melewati sekolah mereka tiba-tiba mereka melempar batu tanpa sebab, atau pertandingan, sekolah kita melawan sekolah mereka, trus sekolah kita menang, mereka pasti ngajak berantem, percuma kita bernilai diri, tapi mereka tetap bikin kita emosi" terang Alvent sedikit kesal.

Pak Nova melipat kedua tangannya di atas dadanya. Sambil berjalan mondar mandir di depan sang ketua osis "kalo bapak kasih saran, kamu rapat dengan anggota yang lainnya, lalu kamu buat surat undangan untuk ketua osis SMA 7 dan kalian melakukan rapat untuk menyelesaikan masalah ini. Kamu tau kan, guru-guru sudah capek harus berteriak, memberikan hukuman buat kalian, sudah lebih dari 5 anak yang di keluarkan tapi kalian masih tidak jera dan tetap aja tauran, Bapak udah pusing kenapa senior kalian dulu pake tauran,bapak aja tidak tau apa sebab kalian tauran, padahal kalian datang ke sekolah untuk belajar, bukan buat tauran" gumam Pak Nova sambil menghela nafas sebentar. "Bapak harap di tahun angkatan ini, masalah yang sudah berpuluh-puluh tahun kaya ini bisa di selesaikan dan gak akan terjadi lagi" ucap Pak Nova penuh harap.

Alvent hanya bisa menunduk pasrah, posisinya serba salah, padahal ia tidak sama sekali ikut tauran, tapi imbasnya selalu ia yang kena.

"ya sudah, kamu boleh keluar, sebentar lagi pulang" suruh Pak Nova.

Tanpa berfikir panjang Alvent segera berdiri dan mencium tangan Pak Nova, lalu ia tinggalkan dari ruang guru BP/BK.

"gimana Vent?" tanya Ahsan yang sudah menunggu Alvent di luar.

"huh.. padahal gue gak tauran, tetep aja gue yang di marahin" gerutu Alvent.

"sabar aja deh, posisi kita memang lagi serba salah" ucap Ahsan. Alvent hanya mengangguk pasrah.

***

Di jalan, Liliyana tengah berlari agar ia cepat sampai sebelum anak SMA 3 keluar semua. Di lihatnya ada beberapa anak SMA 3 keluar, Liliyana langsung bersembunyi di balik telepon umum yang sudah tidak terpakai.

Liliyana mengintip sebentar dan memperlihatkan wajahnya sedikit "kakak!" panggil Liliyana yang langsung cepat-cepat mengumpat. Ia kembali menunjukan wajahnya, tangannya melambai ke salah seorang siswa dan menyuruhnya kemari.

"Adek, kenapa gak pake jaket?" tanya Vita sedikit terengah-engah karena habis berlari juga.

"lupa" jawab Liliyana singkat.

Vita langsung cepat-cepat melepaskan jaket yang ia pakai, lalu ia memberikan jaketnya kepada Liliyana. "udah pake di jalan aja" tegas vita seraya menarik tangan Liliyana untuk pergi menjauh dari wilayah sekolahnya.

Sambil membantu adiknya memakai jaket, ia menoleh ke belakang, memastikan siswa-siswa yang sering tauran belum keluar dari gerbang sekolah.

"emang mau ada tauran lagi ya kak?" tanya Liliyana yang sibuk memakai jaket.

"gak tau, tapi anak-anak cowo bakal bringas kalo liat ada murid SMA 7 ada disini" jawab Vita.

Hingga sampai pada sebuah halte, Liliyana masih sibuk memakai jaket, karena resletingnya susah menyatu. Sedangkan Vita mengawasi keadaan sekitar dari 2 arah. Tiba-tiba saja ada seseorang menepuk pundak Vita dari belakang. Vita menoleh, betapa kagetnya ia melihat teman 1 sekolahnya berada di sebelahnya. Tanpa menunggu sapi bertelur Vita langsung mendekap erat Liliyana yang masih sibuk menyatukan resleting jaket kakaknya.

"Age! gue gak mau lo apa-apain adek gue! gue gak rela lo sentuh adek gue! cepet pergi sana!!" bentak Vita yang sudah terlihat ketakutan, karena ia tahu Age adalah salah 1 murid yang sering ikut tauran. Sedangkan Liliyana mendapati asma akut stadium 7.

Age sendiri tampak heran dan bingung "siapa yang mau nyentuh adek lo, gue cuma nanya lo mau ngapain disini" jelas Age.

Vita melepaskan Liliyana dari dekapannya, Liliyana sujud syukur karena tak jadi bertemu malaikat pencabut nyawa. Vita menatap Age dengan wajah heran "lo sendiri ngapain disini? gue kira lo mau apa-apain adek gue" ucapnya " lo gak sama anak-anak?"

"ngapain?" tanya Age.

"biasanya kan lo suka kumpul sama anak-anak, buat... tauran" jawab vita dengan asal.

Age menggeleng "udah insaf, gue kagak mau lagi tauran"

"tumben lo insaf, kenapa?" tanya Vita.

"emang habis ngapain kak?" Liliyana ikut bertanya.

"yah gue gak mau ngebunuh lagi ah!" jawab Age.

Vita dan Liliyana saling menatap "ngebunuh?" tanya mereka dengan kompak.

"iya, waktu itu gue mau nabrak siswa SMA 7, eh malah nabrak anjing lagi bunting sampe mati, jadi gue ogah lagi ikut tauran" terang Age yang masih membayangkan kejadian 2 bulan silam.

"kalo anjing biasanya sekali brojol tuh 3, atau 5, jadi kakak udah ngebunuh 6 nyawa dong, nah lo di gentayangin loh kak" goda Liliyana dengan menakut-nakuti Age.

Age mengacak-acak ambut Liliyana "ih kecil-kecil udah mau nakut-nakutin orang gede" ledek Age.

"ye segini udah gede tau, bukan anak kecil!" bela Liliyana.

"oh gede,, eh kalian kenapa sih adek kakak bisa beda sekolah, kenapa gak 1 sekolah aja?" tanya Age.

"gini ceritanya, dulu Yana pengen masuk ke sekolah kita, cuma karena nemnya di bawah standar masuk sekolah kita, jadi dia gak di terima, dan bodohnya dia memilih sekolah SMA 7 sebagai penggantinya" jelas Vita.

"salah kakak sendiri kenapa gak ngasih tau!" gerutu Liliyana.

Age langsung mencubit pipi Liliyana "ih adek lo lucu banget sih Vit, udah gede tapi masih kaya anak kecil..".

Vita melihat adiknya di cubit sedikit keras oleh Age langsung menangkis tangan Age "ih lo jahat banget nyubit adek gue keras-keras banget" gerutu Vita. Age hanya nyengir kuda sedangkan Liliyana mengelus kedua pipinya yang merah.

Tapi tak berselang lama gerombolan siswa SMA 7 datang tanpa di undang dan langsung menghampiri mereka bertiga. Vita melihat gerombolan musuh sekolahnya datang langsung memegang erat tangan Liliyana dan bersembunyi di balik badan Age. Tapi tiba-tiba seseorang dari mereka menarik tangan Liliyana dan hendak merebutnya dari Vita.

"heh! lo mau apain adek gue?! lepasin gak?! atau gue laporin kalian semua!" ancam Vita.

Lelaki yang bertubuh tinggi dan tegap berdiri di hadapan Vita "lo yang mau apain temen kita hah?!"

"woi sabar men.." ucap Age sembari menepuk lengan lelaki itu "kita gak ada maksud, tolong jangan emosi dulu, damai, lo lepasin adek temen gue, kita gak nyiksa dia" pinta Age dengan sedikit santai.

Karena tak nyaman telah di tepuk sembarangan oleh Age, lelaki itu menangkis tangan Age dan memukulnya.

"Kak Hendra! jangan berantem!" bentak Liliyana.

Tapi bukan saat yang tepat, beberapa siswa dari SMA 3 terlanjur melihat temannya telah di pukuli. Mereka mendekati siswa SMA 7 yang mengepung 2 temannya di halte.

"heh! ngapain lo? mau sandera temen kita hah?!" tanya Kido dengan tampang sangar layak ingin mengajak berkelahi.

"Do, lo sama temen-temen pergi deh, jangan kesini" titah Vita mencoba mencegah perkelahian. Tapi lain lagi dengan Age, Age malah mengadu kepada teman-temannya.

"oh, kalian mau ngajak ribut ya? lo mukul temen kita, sama aja lo mau ngajak berantem!" bentak Kido.

"kalo iya mau apa lo?" ucap Hendra yang benar-benar memancing emosi.

Beberapa anak sudah menyingsingkan lengan baju. Aksi dorong mendorong pun terjadi, adu otot, caci maki tak terelakan, dan terjadilah aksi tauran yang tidak dapat di hindarkan.

Di waktu kesempatan dalam kesempitan Vita langsung cepat-cepat menarik tangan Liliyana untuk menjauhi tempat terjadinya tauran. Untungnya ada beberapa teman yang berada di dalam angkot dan mengajak Vita dan Liliyana untuk ikut pergi.

Tauran masih berselang, angkot yang mereka tumpangi mencari jalan alternatif lain untuk menghindari tauran antar pelajar. Sayangnya sebuah batu terlempar dan memecahkan kaca belakang mobil angkot.

"kakak!!" teriak Liliyana yang nampak sangat ketakutan. Vita langsung melindungi Liliyana dan menutupi kepala mereka dengan tas. Siswi-siswi yang seangkot dengan Vita tak jauh ketakutan.

***

Seusai pulang sekolah terpaksa Vita di rujuk ke RS hanya untuk mengobati luka akibat terkena pecahan beling. Sedangkan Liliyana menunggu di depan ruangan.

"Yana.." panggil seseorang yang tiba-tiba ada di pinggir Liliyana.

Liliyana langsung berpindah tempat, menjauhi orang itu. "ngapain Kak Hendra disini?" tanya Liliyana sedikit acuh tanpa melihat orang itu.

Lelaki yang bernama Hendra pun mendekati Liliyana dan langsung duduk di samping Liliyana sambil memegang erat tangan gadis berkulit putih itu agar tidak menjauh lagi. "Aku minta maaf" jawab Hendra sedikir pelan "gara-gara tadi terlalu emosi, kakak kamu jadi ikut luka-luka" lanjutnya.

"lagian kenapa kakak emosi duluan, kan yang kena bukan cuma yang tauran, tapi orang yang gak bersalah juga kena!" gerutu Liliyana "terus kenapa kakak ada disini? kenapa kakak gak di kantor polisi, biar langsung insaf!"

"Fran, jadi korban, sekarang dia lagi di operasi. Guru-guru juga ada disini, kakak bener-bener mau minta maaf, karna kakak kamu jadi korban juga, maafin kakak ya Yan.." pinta Hendra sedikit lirih.

"gak!" sahut Liliyana dengan ketus.

"plis.. kakak janji gak akan tauran lagi.." Hendra juga langsung berlutut di depan Liliyana "Yan.. maafin ya, kakak janji.."

Liliyana menghadapkan wajahnya ke Hendra, dengan pelan Liliyana melepaskan kedua tangannya yang di pegang Hendra dan langsung berbalik tangannya yang memegang tangan Hendra "Yana pasti selalu maafin kakak, tanpa harus minta maaf pasti Yana maafin, tapi dengan syarat kakak gak tauran lagi, tapi kalo kakak masih tauran, Yana gak bakal mau kenal kak Hendra lagi, dan lupain janji kita yang waktu itu" gumam Liliyana.

Hendra menatap Liliyana dan memberikan sebuah senyuman "kakak janji gak akan tauran lagi, asal Yana gak marah lagi sama kakak ya.. dan soal janji yang waktu itu, masih terus berlaku sampai kakak udah selesai UN"

Sebuah senyuman terpampang di bibir Liliyana. Sebenarnya Liliyana tak berharap lebih, tapi yang Liliyana mau cuma sekolahannya dengan sekolahan kakaknya, Vita, tidak saling bermusuhan. Jadi Liliyana tak perlu bersembunyi untuk menjemput kakaknya pulang dari para siswa yang selalu ikut tauran.

Lain dengan Hendra yang mengatakan tidak akan tauran lagi karena agar Liliyana bisa menerima cintanya. 1 bulan lalu Hendra menyatakan cintanya kepada adik kelasnya ini. Tapi Liliyana tidak akan menjawab dan akan menjawab jika Hendra telah selesai melaksanakan UN, karena ia tidak mau kakak kelasnya ini lebih sibuk memikirkan dirinya ketimbang UN nanti.

Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Vita keluar dengan balutan perban di lengannya. Vita melirik adiknya yang sedang bersama lelaki.

"udah kak?" tanya Liliyana

Vita mengangguk "pulang yok!" ajaknya.

"aku antar ya Yan" Hendra menawarkan jasanya, tapi Liliyana menolak dengan lembut "gak kak, rumahnya deket kok, kak Hendra pulang sendiri aja ya"

Tak bisa di paksakan, Hendra pun membiarkan Liliyana pergi.

***

"kamu pacaran sama dia ya?" tanya Vita yang tengah berbaring di atas kasur.

"gak kak, dia cuma kakak kelas" jawab Liliyana.

"kok kaya orang pacaran sih?"

Liliyana tak menjawab, tak tahu harus menjawab apa.

"kamu gak boleh pacaran sama dia!" tiba-tiba Vita menyentak. Liliyana menatap Vita dengan heran "kenapa?"

"kakak gak mau kamu pacaran sama anak yang berandalan kaya dia!" jawab vita dengan tegas.

"tapi dia janji gak akan tauran lagi kak.." bela Liliyana dengan pelan.

"pokoknya sekali kakak bilang enggak ya enggak! kakak gak mau kamu ikut-ikutan brandal kaya dia!" bentak Vita yang mulai terlihat asing di mata Liliyana.

"maaf" sahut Liliyana dan langsung pergi dari kamar Vita.

***

Malam terasa sepi, di tambah dengan tiupan angin malam yang masuk melewati jendela kamar, Vita menatap langit. Ia masih teringat dengan kejadian siang tadi saat ia memarahi Liliyana, karena baru kali ini Vita membentak Liliyana.

"pasti Yana marah, padahal kalo dia tau, aku gak mau dia jadi anak yang bengal, aku gak mau liat dia jadi adik yang nakal. Aku tegas karena aku sayang kamu dek, tolong kamu ngertiin kakak, kalo kamu tau penderitaan kakak sekarang pasti kamu bakal sedih, tapi kakak gak mau liat kamu sedih, kakak cuma pengen liat kamu seneng, tolong bahagiakan kakak di waktu umur kakak yang terakhir. Kakak gak tau sampai kapan kakak menderita karena ini, tapi tolong kamu jangan buat kakak semakin gak kuat buat hidup..." ucap Vita sambil menatap langit tanpa bintang, karena keadaan di luar tengah mendung. Vita juga merasakan bulir-bulir air matanya berjalan di atas pipinya.

Matanya melirik ke sebuah botol yang di isi butir-butiran obat tablet. Benda yang dapat membantunya bertahan hidup, dan menghilangkan rasa nyeri yang selalu datang tiba-tiba dan siapa tahu dapat merenggut nyawanya tiba-tiba.

Batinnya berkata, meski dengan keadaan yang seperti ini, ia tak sangat berharap adiknya -Liliyana- tahu apa yang tengah di deritanya.

"vita... makan dulu yuk!" ajak Mama yang tiba-tiba datang ke kamarnya.

Vita melirik mamanya, bibirnya tersenyum "Yana lagi apa ma?"

"Yana lagi makan, makan dulu yuk, habis itu minum obat" Mama langsung mendekati Vita, dan membantu Vita berdiri dari kasurnya.

Sampai di ruang makan Vita melihat Liliyana tengah asik melahap sepiring nasi beserta lauk pauk yang cukup sederhana, tempe dan tahu. Vita duduk di samping Liliyana, matanya terus menatap Liliyana yang hampir melahap habis makan malamnya, sebuah senyuman terpampang terus di bibir Vita.

"nih, makan yang banyak ya kak.." titah Mama sambil menyodorkan sepiring nasi dan lauknya.

Vita mengangguk kecil, dan mengambil sendok yang terletak di sampingnya.

"Mah, Yana ke kamar ya, mau ngerjain PR" tanpa menunggu lampu hijau lalu lintas menyala, Liliyana langsung beranjak pergi dari meja makan dan berjalan menuju kamarnya. Vita hanya menghela nafas melihat sikap adiknya yang sedikit berubah.

Tak berselang lama terdengar suara ketukan pintu dari depan rumah, Mamah beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arah pintu, sedangkan Vita melanjutkan makan malamnya.

"Vita, teman-teman kamu datang" teriak Mama dari ruang tamu.

"di suruh tunggu aja Mah.." sahut Vita.

***

Tak disadari waktu sudah menunjukan pukul 10 malam, teman-teman Vita -Shendy dan Maria- pun sudah pulang setelah menjenguk Vita dan mengerjakan tugas bersama. Vita langsung beranjak ke kamarnya, tapi ia malah melihat Liliyana sedang membaca majalah bekas yang di simpan di dalam lemari kecil. Liliyana yang menyadari Vita masuk hanya tersenyum kaku.

"belum tidur dek?" tanya Vita yang membaringkan tubuhnya di atas kasur. Liliyana hanya menggeleng dan terus melanjutkan membuka majalah-majalah lama. "kalo udah di baca, di beresin lagi ya" suruh Vita dengan nada suara yang sedikit pelan, tapi Liliyana hanya menyahut dengan sebuah anggukan.

"majalah kakak yang ada biodata atlit masih ada sama kamu kan?" Vita kembali bertanya berharap mendapat jawaban dari Liliyana.

"iya, kalo kakak mau ambil, majalahnya ada di bawah bantal" akhirnya Liliyana menjawab.

Vita menatap heran "bantal?"

Liliyana mengangguk, lalu ia berdiri dan membereskan majalah-majalah lama milik Vita dan memasukan ke dalam lemari "tidur dulu ya kak" pinta Lilyana sambil berjalan hendak keluar dari kamar Vita, tapi tangan Vita lebih cepat menggenggam tangan Liliyana. "tidur sama kakak ya" ajak Vita yang sudah menggeserkan tubuhnya yang hampir mengenai tembok.

Liliyana berfikir sejenak, lalu ia menerima permintaan Vita. Langsung saja ia berbaring di sebelah Vita, dan menghadap ke arah lain, membelakangi Vita.

"apa kamu marah sama kakak karena kakak gak ngijinin kamu deket sama kakak kelas kamu itu? kakak gak bermaksud apa-apa, kakak cuma takut kamu jadi lebih jahat dan suka ikut tauran, kakak begini karena kakak gak mau liat kamu sedih, menderita. tolong bahagiain kakak di akhir umur kakak nanti seperti kamu bahagiain mamah" ucap Vita dalam hati dengan lirih sambil menatap Liliyana dari belakang.

Tiba-tiba Liliyana berbalik badan dan menghadap ke Vita "kakak kok akhir-akhir ini sering sakit sih kak?" tanya Liliyana secara tiba-tiba.

Lidah Vita terasa kaku, susah menjawab pertanyaan dari Liliyana yang terlalu mudah untuk di jawab, tapi susah untuk di lontarkan.

"kakak sakit ya? kok kakak agak kurusan?" Liliyana terus melontarkan pertanyaan , tapi tak juga di jawab oleh Vita. Di lihatnya air mata Vita jatuh, Liliyana menatapnya heran dan langsung mengusap jarinya ke pipi Vita untuk menghapus air mata yang berhasil membasahi sekitar wajah Vita. "kakak kok nangis, kakak sering nyuruh Yana jangan nangis, kok kakak malah nangis, kakak jangan nangis di depan Yana.." ucap Liliyana dengan polos tak peduli umurnya telah memasuki usia 16th, sudah kelas 1 SMA, berpenampilan layak bocah laki-laki di hadapan temannya, tapi Liliyana akan berubah menjadi anak kecil yang manja jika sudah berhadapan dengan Mama dan kakaknya.

"kak.." panggil Liliyana lagi.

"maaf dek, kak Vita gak tau kenapa jadi sering begini, kakak cuma berfikir kakak gak mau pisah sama kamu, sama mamah, karena kalian orang yang paling kakak sayang, kakak juga berfikir, kalo kita jauh apa kita akan sedekat ini lagi" jawab Vita dengan hati yang sedikit tertekan.

Liliyana hanya tersenyum simpul "Yana gak akan pernah jauh dari kakak, baik fikiran, hati dan jiwa, Yana selalu dekat buat kakak, sama seperti papah yang udah ada di surga, Yana selalu sayang sama kak Vita" sahut Liliyana.

Vita tersenyum, lalu ia menggenggam tangan adiknya dan memejamkan matanya untuk tidur.

***

"Yana!!"

Suara teriakan Vita kembali terdengar di pagi hari. Liliyana yang tengah sibuk menalikan sepatunya langsung terhenti setelah mendengar teriakan panggilan dari Vita.

Sebuah lemparan buku jatuh dan mendarat mengenai lengan Liliyana "majalahnya lo apain hah?!" tanya Vita sedikit membentak.

"kenapa?" tanya Liliyana yang tampak bingung.

"lo buka tuh, trus lo liat apa yang udah lo lakuin, kalo lo udah nyadar, lo kudu cepet-cepet gantiin majalahnya!" suruh Vita dengan tegas dan langsung pergi berangkat ke sekolah tanpa menunggu Liliyana terlebih dahulu.

"gak berangkat bareng sama adek, kak?" tanya Mama yang sedang menyapu halaman rumah.

"gak, Vita mau berangkat sendiri aja!" sahut Vita sedikit jengkel.

Liliyana menatap Vita dengan heran, kenapa Vita sedikit berubah atau memang sangat berubah, ia pun langsung memungut majalah yang tergeletak persis di hadapannya. Liliyana langsung mencari halaman yang membuat Vita menjadi lebih "galak".

Saat ia buka dan ia perhatikan, ternyata Liliyana sadar. Ada sebuah halaman yang lecek dan sedikit robek yang terdapat pada lembaran majalah. Masalahnya bagian yang robek itu terdapat di sebuah halaman yang terpampang biodata para arjuna-srikandi atlit-atlit Bulutangkis Indonesia.

Liliyana tahu bahwa kakaknya adalah pecinta bulutangkis, setiap liburan ia selalu di ajak oleh kakaknya untuk bermain bulutangkis, jika ada pertandingan bulutangkis yang di gelar saat tujuh belasan, mereka selalu ikut serta untuk mengikuti perlombaan, dan mereka selalu juara di partai ganda putri. Bahkan Vita hafal benar seluruh nama-nama atlit bulutangkis saat dari jamannya Rudi hartono, Liem Swie King hingga atlit masa kini. Liliyana merasa bersalah, ia langsung merogoh saku bajunya, dan hanya terdapat uang 15rb, itu juga hanya untuk 2 hari saja. bukan karena keluarganya yang kurang mampu, malah ekonomi keluarga mereka lebih dari cukup, tapi Mama mengajarkan agar Vita dan Liliyana bisa irit dalam pengeluaran dan sering menabung untuk masa depan, jadi tidak akan menderita dan terbiasa jika jaman sedang kritis-kritisnya.

***

Saat Vita sudah sampai di dalam sekolahnya, ia sudah di sambut oleh beberapa anak yang tengah di hukum karena tauran kemarin. Dengar-dengar mereka di jemur selama 4 jam dan menyuruh membersihkan seluruh sekolah sampai bersih, dan tidak boleh pulang meski sudah petang karena hukumannya belum beres.

"hai Vit" sapa seorang temannya yang tengah menyaksikan murid-murid yang tengah di hukum, yang di kira ia adalah Alvent, Vita hanya menatapnya dan tersenyum kecil.

Tiba-tiba saja pandangan Vita terlihat buram, banyak kunang-kungan yang berterbangan di hadapannya, tubuh Vita langsung menyender ke tembok. Alvent yang melihat langsung keadaan vita langsung mendekati Vita.

"kamu gak papa vit?" tanya Alvent yang nampak khawatir.

Vita menggeleng dan mencoba berdiri "gapapa" sahutnya, tapi tiba-tiba saja tubuh Vita roboh, Vita langsung pingsan, beberapa siswa membantu Alvent untuk menggotong Vita dan membawanya ke UKS.

***

"udah ah! gue capek nyarinya yan.." keluh Greysia yang menyingkirkan tumpukan majalah bekas dari hadapannya."kita balik aja yok! bentar lagi bel, atau lo gue tinggalin" ancam Greysia yang melihat Liliyana tengah sibuk membuka-buka lembaran majalah bekas.

Sayangnya Liliyana tak merespon perkataan Greysia, terus saja ia membuka-buka majalah yang sudah penuh dengan debu. Greysia mulai lengah, akhirnya ia meraih tas yang ia simpan di atas lemari dan ia pergi meninggalkan Liliyana sendiri.

"bilangin gue lagi ijin ya Greys!" seru Liliyana dari dalam. Greysia tak menyahut, tapi Liliyana langsung meneruskan membuka-buka majalahnya.

Hingga seorang pemilik agen datang dan mendekati Liliyana "cari majalah yang mana Neng?"

"majalah SportClub mang, yang ada profil atlit-atlit bulutangkis" jawab Liliyana.

"ih itu udah lama, udah di tarik dari perusahaannya, kalo gak salah ada majalah namanya ChampionSport, disitu sekarang lagi keluarin edisi profil-profil atlit badminton, dari jamannya Susi Susanti sampe sekarang. Adanya di toko buku Gramedia, terbatas disana, sekarang Neng kesana, sebelum kehabisan, emang buat apa?" tanya si pemilik agen koran layak orang yang sedang promosi.

"mau gantiin majalah punya kakak yang rusak, yang ada profil atlit bulutangkis" jawab Liliyana.

"oh, iya sih disitu banyak profil atlit bulutangkisnya, lengkap malah" terang si pemilik agen koran.

"harganya?"

"kalo gak salah, 23 ribu, soalnya spesial" jawabnya.

Liliyana melirik ke bawah, ia mengeluarkan uang dari saku bajunya "cuma ada 15 ribu, mana cukup" gumam Liliyana dalam hati.

"duitnya gak cukup ya Neng?" tanya pemilik agen koran itu lagi. Liliyana mengangguk kecil dan memasukan kembali uangnya ke dalam saku. "yaudah, daripada kamu disini, udah mah gak sekolah, mending kamu kerja jualan koran, buat tambahin uang kamu, tapi cuma hari ini aja, besoknya enggak, nanti saya bisa di laporin polisi kalo mempekerjakan anak di bawah umur, tapi daripada kamu diem disini, mau ga?" tawar si pemilik agen koran. Liliyana diam sejenak, ia berfikir, mungkin ini kesempatan untuk mencari uang, dan bisa membahagiakan kakaknya kembali. Akhirnya Liliyana mengangguk dan menerima tawaran itu. Si pemilik agen koran mengambil beberapa koran harian dan mingguan kepada Liliyana, lalu ia meminta Liliyana untuk memakai salinan baju karena tidak mungkin Liliyana berjualan koran dengan memakai seragam sekolah.

Setelah berganti pakaian, ia di suruh untuk menelusuri jalanan di sekitar perempatan, lampu lalu lintas dan kolong jembatan. Liliyana pun berjalan dan mulai menjajakan koran-koran harian, meski sedikit sungkan, toh demi kebahagiaan kakaknya.

***

1 jam lebih Vita pingsan di dalam UKS, pembina PMR sebelumnya akan membawa Vita ke RS, tapi untungnya Vita mulai agak baikan. Lalu ia di suguhi teh hangat agar fikirannya kembali normal.

Vita melirik ke samping, ia melihat Alvent tengah sibuk membaca tabloid bola.

"Vent" panggil Vita. Alvent melirik dan melihat Vita sudah duduk di atas tempat tidur. Alvent mendekati Vita dan duduk di sebelahnya "kenapa?"

"makasih ya, udah tolongin aku" ucap Vita dengan senyuman.

Alvent pun membalas senyuman Vita "ya sama-sama, sesama ketua organisasi kudu saling menolong kan". Vita mengangguk dan memijatkan kepalanya sendiri "kamu punya penyakit ya Vit?" tanya Alvent lagi.

Vita menghela nafas dan mengangguk pelan.

"penyakit apa?" tanya Alvent sedikit penasaran.

"Leukimia, stadium 3" jawab Vita dengan ragu. Alvent menatap Vita yang menundukan wajahnya. Baru pertama kali Alvent melihat Vita berwajah terlihat seperti orang kesusahan, patah semangat, atau bermuram durja, entahlah, yang pasti tak ada sedikit pun wajah senang dari balik mimik wajahnya.

"kenapa kamu gak di rawat di RS, itu udah parah Vit" timpal Alvent pada Vita. Tapi Vita justru menggeleng "percuma Vent, itu cuma ngabisin biaya aja, dokter juga udah memfonis aku gak akan sembuh dan kurang dari 5 bulan, aku gak akan bisa bertahan, buat apa aku di rawat, percuma kalo aku gak sembuh juga!" bentak Vita.

Alvent menatapnya tajam "apa karena dokter udah memfonis kita, kita terima begitu aja? emangnya dokter itu Tuhan? itu cuma perkiraan Vita, kematian gak ada yang tau, kamu jangan pasrah begitu aja Vit. Kamu tau gak Vit, ada seorang pasien, yang sudah di vonis oleh dokter kalau hidupnya akan berakhir dalam kurun waktu kurang lebih 6 bulan, tapi buktinya apa? dia masih bisa bertahan hingga 3 th, kamu ngerti kan, dokter hanya bisa mengira, hanya bisa mengobati, tapi kesembuhan hanya bisa di berikan oleh Tuhan, bukan dokter, dokter cuma perantara Vit!" tegas Alvent membuat air mata Vita keluar. Segera mungkin Alvent mengusap pipi Vita dan mengelusnya "jadi.. karna ini, kamu minta putus waktu itu?" tanya Alvent sedikit gugup. Vita menundukan wajahnya dan mengangguk pelan.

"kenapa?" Alvent bertanya lagi.

"karena.. aku takut kamu malu.. punya cewek yang penyakitan" jawab Vita sedikit terbata-bata.

Alvent menggenggam tangan Vita "justru aku malu, kalo punya cewek yang penakut dan pembohong, harusnya kamu jujur, kalo kamu jujur, aku bisa terima keadaan kamu apa adanya, kamu gak perlu malu sama keadaan kamu, toh meski kamu punya penyakit, tapi kamu bisa terpilih sebagai ketua MPK kan? dan kamu bisa mencopot jabatan aku sesuka kamu, karna kamu lebih punya wewenang. Jadi buat apa malu kalo kamu punya penyakit, orang sehat aja gak seberuntung kamu, jangan mengharapkan kesempurnaan, karena kita bisa menerima keadaan, kehidupan yang biasa bisa di anggap sempurna, ya kan" tegur Alvent dengan lembut.

Vita terdiam dan tersenyum setelah mendengarkan perkataan bijak dari Alvent.

Suasana hening sejenak, tak tahu ingin bicara apa, jadi mengingatkan kejadian 2th silam, saat mereka melakukan "PDKT".

***

Setelah hampir 4 jam Liliyana berjalan menelusuri jalanan dan menawarkan koran-koran pada setiap pengguna jalan, hanya 7 dari 20 koran yang laku di beli. Keringatnya telah mengucur deras di tubuhnya. Berkali-kali ia menghapus keringat dengan lengan baju sampai akhirnya pemilik agen koran memanggilnya kembali.

"udah?" tanya pemilik agen koran itu.

"cuma laku 7" jawab Liliyana seadanya.

Pemilik agen koran itu langsung mengambil tumpukan koran dari tangan Liliyana, lalu ia berjalan menuju meja yang berada dekat dengan tumpukan koran "udah tau kan susahnya orang kerja gimana?" tanya orang itu lagi. Liliyana hanya mengangguk kecil. Lalu pemilik agen koran memberikan 1 lembar uang 5 ribuan kepada Liliyana. "ini uang hasil keringat kamu, memang kecil, tapi uang 5 ribu sangat bermakna, dengan uang ini kamu bisa bertahan hidup, aneh kan, tapi kamu fikir 5 ribu cukup buat apa, kalo kamu lebih berfikir lagi, uang 5 ribu bisa beli 1 bungkus nasi uduk, segelas air mineral, dan bisa membayar ongkos perjalanan. Itulah hidup, gak gampang. Tapi karena kamu udah rela berjualan sampe kamu gak sekolah, saya kasih 5 ribu. Terus karena kamu rela jalan-jalan sampe kepanasan, padahal kulit kamu udah kaya iklan handbody di tv, saya kasih bonus 5 ribu, dan karena kamu sudah berjuang untuk mendapatkan sesuatu, ada bonus 20 ribu buat kamu" ujar pemilik agen koran itu dengan memberikan uang lembaran kepada Liliyana. Wajah Liliyana terlihat bahagia, matanya terbinar-binar, pertama kali ia dapat uang dengan jeri payah sendiri, dengan keringat sendiri tanpa di beri oleh Mama "makasih mang!" seru Liliyana.

"nama kamu siapa?"

"Liliyana" sahutnya "kalo mang sendiri?"

"Owi" jawabnya.

"oh, makasih om! Yana pamit ya, doain biar kakak Yana mau maafin Yana" seru Liliyana penuh semangat, lalu ia segera pergi dan membawa tasnya.

Mang Owi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum "adik yang baik"

***

"Non gyomane gadeuk cha du nuneul garin chae
Jo hanureul hyanghae du phareul podo bojiman
Non irur su obso to daheul su obso
Hohwang don jaman shim non onjena gu jariya" nada dering dari ponsel Vita terus saja berbunyi, membuat UKS menjadi bising karena suara ponselnya. Alvent sendiri mulai merasa risih.

"kenapa gak di angkat sih Vit?"

"gak mau!" sahut Vita

"emang telepon dari siapa?" tanya Alvent penasaran.

"Yana" jawab Vita dengan singkat.

Alvent menatap Vita dengan wajah heran "kenapa gak di angkat? dia kan adik kamu Vit"

"iya, tapi aku kesel sama dia, dia udah ngerusakin majalahku, kalo majalahnya yang halaman lain sih gapapa, tapi dia ngerusaknya pas bagian yang paling aku suka, aku jadi kesel banget tau, mana majalahnya itu terbatas banget" gerutu Vita penuh kesal.

"siapa tau dia gak sengaja dan mungkin aja dia telepon kamu buat minta maaf" terang Alvent berharap Vita bisa lebih tenang.

Tapi Vita menggeleng "gak, paling nanti dia kaya gitu lagi" sahut Vita dengan ketus. Alvent tak banyak berbuat, karena ia sudah tahu salah satu sifat Vita yang sulit di kendalikan adalah egois dan keras kepala.

***

"kakak kok gak mau angkat teleponnya sih" keluh Liliyana yang sudah berada di depan gerbang sekolah Vita. Lalu Liliyana menekan beberapa tombol, ia mengirim sms "kak, kak Vita bisa keluar sebentar gak, Yana mau ketemu sama kakak, Yana juga mau minta maaf, Yana juga punya sesuatu buat kakak tolong cepet keluar ya kak, Yana udah pegel nih"

-send-

Tapi setelah 15-20 menit menunggu tak nampak seseorang datang keluar, dan juga tak ada sms balasan dari Vita. Lalu seseorang datang menghampiri Liliyana. Ternyata dia Hendra.

"kak Hendra kok jam segini udah pulang?" tanya Liliyana.

"kamu kemana aja, kamu main kemana sampe kamu di alfain?" tanya Hendra yang tampak kesal.

"alfa? aku ijin kok, udah bilang sama Greys malah" jawab Liliyana yang nampak bingung "kak Hendra kenapa udah pulang?"

"orang udah waktunya pulang, lagian guru-gurunya lagi rapat di dinas, jadi daripada muridnya di cuekin mending di suruh pulang, kok kamu gak pulang?" Hendra tanya balik.

"Yana mau pulang sama kak Vita, sekalian Yana mau kasih majalah ini, tadi pagi Yana udah buat kakak marah, jadi Yana mau minta maaf" jawab Liliyana dengan sedikit lesu.

Hendra melihat majalah yang di pegang Liliyana "kamu beli ini?"

Liliyana mengangguk cepat, Liliyana langsung menceritakan semua pengalamannya yang terjadi di siang tadi. Tak di sangka juga beberapa teman sekolahnya menuju ke arahnya.

***

Di tempat Vita, Vita tampak kesal, tapi Vita juga sebenarnya ingin keluar dan bertemu Liliyana, tapi rasa gengsinya terus menempel di hatinya. Dan Vita melihat setetes darah jatuh tepat di atas tangannya. Ia menyadari sebuah tetesan darah itu keluar dari hidungnya. Kepalanya juga mulai terasa berat, Vita langsung duduk di atas lantai dekat pintu.

"Vit, jangan duduk di bawah, kan aku bilang kamu jangan kemana-mana" tegur Alvent yang langsung mengangkat tubuh Vita dan membawanya kemabali ke atas tempat tidur. Alvent mengambil beberapa tisu dan membersihkan darah di sekitar hidung dan bibir Vita.

"apa aku bakal pergi sekarang vent?" tanya Vita lirih.

Alvent menggeleng cepat "gak, kamu gak akan pergi sekarang" jawabnya. Vita memegang tangan Alvent yang tengah membersihkan darahnya "biar aku yang bersihin sendiri" pinta Vita.

Alvent memberikan tisu yang masih bersih dan membiarkan Vita melakukannya sendiri. Lalu tak lama Ahsan datang, terlihat seperti orang yang sedang di kejar-kejar setan "Vent, anak-anak pada tauran di depan sekolah!" triak Ahsan yang langsung menarik tangan Alvent.

Vita yang menyadari kalau Liliyana ada di luar langsung ikut menyusul Alvent dari belakang.

Sampai di luar sekolah ternyata keadaan sudah mulai rusuh, kacau balau layak orang-orang yang tengah perang. Batu-batu bermacam ukuran pun melayang dan jatuh mengenai orang-orang yang berada di bawahnya.

Semua berawal saat teman-teman Liliyana, yang juga sebagai musuh besar dari sekolahan Vita sedang berada di luar sekolah Vita. Siswa SMA 3 yang mengira SMA 7 akan mengajak tauran pun langsung keluar, padahal siswa SMA 7 belum melakukan hal apapun. Siswa SMA 3 juga sepertinya belum jera meski tengah di hukum. Langsung saja tauran itu terjadi secara tiba-tiba. Di tambah rasa kesal siswa SMA 7 karena salah seorang temannya harus masuk ke RS. Jika di perkirakan ini adalah tauran yang cukup riuh. Karena letaknya saja sampai ke jalan raya, tidak hanya depan sekolah SMA 3.

Liliyana yang berada di tempat tauran pun sangat ketakutan. Ia berlindung diri pada Hendra. Sesuai janjinya Hendra juga tidak akan ikut tauran lagi, ia langsung membawa Liliyana menjauhi tempat tersebut. Tapi sebuah batu melayang dan jatuh tepat mengenai kepala Hendra. Darah segar pun keluar dari kepalanya, dengan cepat Liliyana dan Hendra menjauhi tempat tauran tersebut, di samping itu juga Liliyana menutupi luka Hendra agar tidak banyak darah yang keluar.

"kamu jangan kemana-kemana Yan, kamu disini aja" pinta Hendra yang sedang menahan sakitnya.

Liliyana hanya mengangguk dan semakin mendekatkan dirinya untuk mendekati Hendra. Rasa takut terus menghantuinya. Hendra mendekap erat Liliyana, sambil terus menahan sakit karena luka yang terdapat di kepalanya.

Sedangkan di seberang sana Vita sudah berada di luar gerbang, sesekali ia mundur untuk menghindari lemparan batu. Ia mencari Liliyana di balik anak-anak yang sedang berkelahi. Alvent menarik tangan Vita dan menyuruh Vita masuk ke dalam sekolah. Tapi Vita tetap bersi keras untuk keluar, dan Vita telah menemukan Liliyana. Tampak Liliyana sedang bersama lelaki yang ada di RS kemarin, dan lelaki yang sudah memukul Age.

"Yana!!" teriak Vita dari kejauhan.

"vita kita ke dalem, nanti kamu bisa di serang mereka tiba-tiba" ajak Alvent yang terus menarik Vita. Tapi Vita tetap mau bertemu Liliyana "Vent, kamu liat kan Yana disana, temennya juga terluka Vent, kita harus kesana" pinta Vita.

Tapi Alvent menolak "tapi kamu nanti kena lemparan batu Vit,,!" ucap Alvent yang terus memegang lengan Vita tapi Vita memaksa melepaskan tangan Alvent hingga berhasil terlepas, Vita langsung berhambur ke jalan.

Tiba-tiba seorang siswa hendak seperti akan memukul Vita, tapi untungnya Alvent cepat-cepat bertindak, dan menyelamatkan Vita yang hampir di pukul oleh kayu.

Disana Liliyana juga melihat Vita ada di luar, Liliyana berdiri dan berlari ke arah gerbang sekolah, ia juga tak mempedulikan Hendra yang mencoba mencegahnya.

"Kak Vita!!" teriak Liliyana sambil berlari mendekati kakaknya yang tengah terduduk lemas dan akan seperti di bawa ke dalam sekolah.

Liliyana mencepatkan langkahnya, sampai-sampai ia tak melihat orang yang berada di samping kanan kiri. Tiba-tiba sebuah pisau menancap langsung ke dadanya. Langkah Liliyana terhenti. Orang yang tak sengaja menusuk Liliyana langsung melepaskan tancapan pisau dari tubuh Liliyana. Naasnya orang yang menusuk Liliyana adalah teman 1 sekolahannya.

Liliyana jatuh tersungkur bersimbah darah. Suaranya berdesis memanggil kakaknya. Vita yang melihat kejadian secara langsung pun berteriak histeris. Vita cepat-cepat berlari mendekati Liliyana. Tak peduli akan datang benda yang akan merenggut nyawanya. Vita berlari dan menghampiri adiknya yang sedang tersungkur dengan baju penuh darah. Vita mendekapkan Liliyana ke pelukannya, tangis Vita pun pecah "dek,, bangun, ini kakak dek.. kakak udah ada disini, dek.. kamu denger suara kakak kan.." Vita terus memanggil Liliyana yang terbujur kaku. Tubuh Liliyana benar-benar sama sekali tak bergerak.

Lalu beberapa mobil polisi datang, kapolda Yonatan Suryatama langsung memberikan tembakan peringatan. Seluruh siswa yang ikut tauran berlari tak tentu arah, menghindar dari tangkapan polisi. Polisi dan pelajar saling kejar-kejaran hingga sampai ke jalan raya.

Salah seorang anggota polisi menghampiri Vita "dek, kami mau mengambil jasadnya untuk di otopsi ya" pinta polisi itu yang akan mengambil Liliyana dari tangan Vita. Tapi Vita malah menolak dan tidak ingin melepaskan Liliyana. Bahkan sampai Alvent ikut turun tangan agar Vita mau melepaskan Liliyana.

"Yana belom mati vent!" sentak Vita yang masih memeluk erat Liliyana, tak peduli baju seragamnya ternoda oleh darah.

"iya, makannya kita cepet-cepet bawa ke RS, biar Yana bisa tertolong!" tegur Alvent dengan tegas "tolong lepasin ya Vit, biarin Polisi yang bawa ya" pinta Alvent dengan sedikit lembut, sedikit-sedikit Vita mau melepaskan Liliyana.

Beberapa Polisi langsung pun segera membawa Liliyana ke RS, agar Liliyana cepat-cepat masih bisa tertolong karena masih terasa denyut nadinya.

Vita pun ikut ke RS bersama Hendra, karena Hendra juga menjadi korban. Sedangkan Alvent di bawa ke kantor polisi untuk meminta keterangan sebagai saksi.

Hingga sampai di RS Vita masih terlihat tak karuan, mondar-mandir di depan ruang UGD. Tak lama Hendra datang dengan balutan perban di kepalanya. Ia mendekati Vita yang sedang menanti dokter yang memeriksa Liliyana.

"Vit,, boleh kita ngomong sebentar?" pinta Hendra sedikit gugup. Karena ia tahu Vita sedang membencinya karena dulu Hendra sering ikut tauran.

"ngomong apa?" tanya Vita yang terlihat ketus.

"kenapa tadi kamu gak keluar dari sekolah, padahal Yana udah lama nungguin kamu" Hendra tanya balik.

Vita diam, tak menjawab. Ia jadi merasa bersalah, ia juga berfikir seandainya ia cepat-cepat keluar pasti tidak akan ada
tauran, dan pasti Liliyana tidak menjadi korban.

Lalu Hendra merogoh tas yang tengah di pegang Vita.

"mau ngapain?" tanya Vita.

Hendra tak menjawab, lalu ia keluarkan sebuah majalah yang masih rapih, namun sepertinya sudah di buka karena plastik pembungkusnya sudah tidak ada.

"ini dari Yana" ucap Hendra sambil memberikan majalah itu.

Vita melihat majalah olahraga yang masih terlihat baru, ia segan untuk mengambil majalah itu dari tangan Hendra, tapi rasa penasaran menggerogoti fikirannya.

Akhirnya Vita mengambil majalah itu, lalu dia duduk di salah satu kursi panjang. Ia buka setiap lembarannya. Vita terkejut, karena banyak halaman menampilkan seluruh profil atlit bulutangkis, lengkap dengan biodata, biografi serta tanda tangannya.

Hendra duduk di sebelah Vita "kata Yana, ini sebagai permintaan maafnya karena udah ngerusakin majalah kamu, dia cerita tadi siang dia kerja, jadi tukang koran, dia juga gak sekolah, cuma buat beli majalah ini, dia pengen kasih hadiah sebagai tanda permintaan maafnya dan mendapatkan maaf dari kamu, kamu mau maafin Yana kan? Yana udah nunggu hampir 1 jam di depan sekolah kamu" terang Hendra yang masih menatap Vita yang sedang membuka majalah.

Lalu Vita melihat salah 1 halaman yang terpotong setengah, ia lihat di bagian atas, ternyata bagian yang terpotong adalah kupon jawaban dari kuis pada edisi bulan ini. Hingga sampai halaman terakhir Vita melihat secarik kertas di dalam majalah, ternyata surat dari Yana.

"ini apa?" tanya Vita sambil menunjukan lipatan kertas pada Hendra.

"itu, pesan dari Yana, awalnya kita mau titipin majalah ini, tapi Yana masih ragu dan bilang pengen ketemu kamu secara langsung" jawab Hendra.

Vita menatap kertas itu, ia membuka lipatannya, dan disitu terdapat sebuah tulisan, Vita hafal betul dengan tulisan ini.

"kak, Yana minta maaf sama kakak karena udah ngerusakin majalah kakak, maaf kecerobohan Yana udah bikin kakak marah, dan majalah ini sebagai penggantinya, mudah-mudahan kakak suka.
Disitu juga ada kuis kak, hadiahnya 2 tiket nonton gratis Indonesia Open di Jakarta nanti, Yana udah kirimin jawabannya, mudah-mudahan kita menang ya kak, trus kita bisa nonton bareng.
Kalo kakak udah baca surat ini, kakak cepet-cepet keluar ya, atau Yana tunggu di rumah aja, tapi kakak harus mau maafin Yana, Yana gak betah liat kakak marah, Yana sayang kak Vita"

Setelah membaca pesan, tangan Vita sedikit gemetar, jantungnya terasa berdetak lebih kencang.

Tak lama dokter yang memeriksa keadaan Liliyana keluar dari ruangan, dokter yang bernama dokter Firda memanggil Vita, Vita pun menemui dokter Firda.

"adik saya gapapa kan dok?" tanya Vita dengan penuh rasa khawatir.

"maaf ya dik, dek kamu udah gak bisa di selamatkan, dia tewas saat di perjalanan, karena benda yang menusuk dadanya menembus jantungnya, jadi jantungnya langsung tidak berfungsi dan akhirnya, adik Yana tidak tertolong lagi" jawab dokter Firda dengan wajah sedih namun datar.

"jadi.. Yana udah.. gak hidup lagi dok?" tanya Vita dengan gemetar, tak percaya akan ucapan dokter. Dan dokter Firda pun mengangguk. Lalu ia mengelus kepala Vita yang terlihat menangis "yang tabah ya, ini udah kehendak Tuhan" ucap dokter itu yang langsung pergi ke ruangan lain.

Vita terduduk lemas, tangannya menutupi wajahnya yang basah karena air mata. Ia tak menyangka ini adalah hari terakhir ia bertemu Liliyana, dan kemarin adalah hari terakhir ia tidur bersama Liliyana, dan ia merasa bersalah sebab hanya karena hal sepele Vita memarahi Liliyana, dan kejamnya Vita tidak mau mengangkat telepon dari Liliyana, bertemu dan memberikan maaf pada Liliyana. Hatinya terasa sakit mengingat kejadian sebelumnya, Vita ingin mengulang kejadian tadi, dan ingin mengatakan maaf pada adiknya, lalu memeluk erat Liliyana dan berjanji tidak akan mengulang kejadian tadi pagi.

Tapi hal itu seperti pepatah ingin memeluk bulan, semua sudah terjadi, tidak bisa di putar balikan lagi. Vita menyesal, benar-benar menyesal. Vita langsung berdiri dan masuk ke dalam ruangan, tak peduli suster-suster mencegahnya, Vita langsung menemui Liliyana yang terbujur kaku tak bernyawa.

"dek, adek bangun ya, adek jangan pergi, kakak ada disini dek, adek pengen ketemu kakak kan, kakak minta maaf ya dek udah marah-marah, kakak juga udah maafin adek, adek jangan pergi ya, kalo adek pergi nanti kakak tidur sama siapa, kakak bercanda sama siapa, berangkat sekolah sama siapa, nanti kakak kesepian, adek bangun ya, nanti mamah nangis kalo tau kamu pergi,," Vita menghela nafas dengan keadaan masih menangis "dan, nanti kalo kita menangin tiket itu, kakak mau nonton sama siapa, kamu gak mau kan liat kakak sendirian, bangun ya dek, kakak kangen pengen ketemu adek, tolong adek jangan pergi ya, please,, kakak minta maaf.." Vita sudah tidak kuat lagi melihat Liliyana diam tak bergerak, layak seperti orang tidur tapi tidak akan bangun kembali. Vita menangis di hadapan jasad adiknya, tubuhnya mulai lemas, kepalanya terasa sakit, tubuhnya ingin roboh, tapi seseorang menahan dari belakang, ternyata Alvent, dia sudah pulang dari kantor polisi, cepat-cepat ia bawa Vita keluar, dan membiarkan Vita duduk, seorang suster memberikan segelas air minum, dengan sedikit sesenggukan Vita meneguk air hangat sedikit demi sedikit, lalu ia menutup wajahnya yang masih belum puas untuk menangis. Alvent pun duduk di sebelah Vita.

"aku kakak yang kejam Vent, aku kakak yang jahat, aku kakak yang gak tau diri, aku kakak yang tega ninggalin adek sendirian, harusnya aku yang mati vent, bukan Yana, tapi kenapa Yana yang pergi duluan, aku nyesel banget Vent.." sesal Vita yang masih terus menangis. Alvent memeluk Vita dari samping, membiarkan Vita menangis dalam pelukannya.

Sedangkan Hendra yang masih terdiam melihat keadaan Vita. Hendra juga mulai merasa sedih, dan ia menyadari cinta yang sudah ia nanti tidak akan kembali. Cinta yang ia tunggu tidak akan terjawab. Dan harus merelakan cintanya pergi untuk selama-lamanya.

Karena kejadian itu, SMA 3 dan SMA 7 kini dan selamanya tidak ada kata "musuh dan tauran", semua siswa sudah sadar akan kejadian itu, karena tauran itu, orang yang tidak bersalah harus menjadi korban. Dan mereka tak mau kejadian itu terulang pada mereka. Sedangkan pihak dari masing-masing sekolah sudah bertindak tegas kepada siswa-siswa yang ikut tauran pada waktu itu, mereka semua di keluarkan dari sekolah, dan beberapa dari mereka juga di tahan di rumah tahanan.

THE END

© Ariyana Arie Thok





Tidak ada komentar:

Posting Komentar